Bagaimanapun, pemikiran siswa bukan tanah liat yang dapat dengan mudah dibentuk guru. Hal yang dapat dilakukan adalah menyelipkan nilai-nilai multikulturalisme dalam proses belajar di sekolah.
Sebagai guru Bahasa Indonesia, Anda bisa meminta para siswa mengarang tentang lingkungan yang didiami berbagai macam karakter manusia dari suku yang berbeda (dengan memperhatikan EYD, tentu).
Bagi guru Sejarah mungkin Anda mau mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika para pemuda dulu bersikeras dengan perjuangan yang bersifat kedaerahan saja?”. Atau jika Anda mengajar Ilmu Sosial pertanyaan yang diajukan berbunyi, “Bagaimana jika Indonesia hanya ditinggali satu suku saja yang berarti hanya ada satu jenis budaya?” Pertanyaan seperti ini membantu siswa untuk memahami keanekaragaman bangsa sebagai anugerah.
Bila Anda guru Matematika, isu multikulturalisme dapat dengan mudah dinyatakan dalam soal-soal cerita mengenai bilangan, pengukuran, bahkan geometri (lihat saja bentuk-bentuk rumah adat yang beragam).
Hal serupa juga bisa dilakukan untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Kesenian, dan Ilmu Alam.
Cara lain adalah bercerita atau mendongeng. Ini memang cara yang sudah berabad-abad dilakukan para orang tua untuk menanamkan sifat-sifat terpuji pada anak-anak. Namun, bukan berarti cara ini sudah tidak efektif.
Dengan menyertakan gambar, boneka, gestik, dan mimik yang menarik, Anda bisa mendidik para siswa (terutama yang berusia TK dan SD) dengan cara yang menyenangkan.
Pendidikan multikultural tentu hanya berhasil bila guru juga memahami wawasan multikulturalisme. Dalam “Workshop Program dan Pembuatan Modul Pelatihan” di Banten dirumuskan kendala besar yang dihadapi penguatan kesadaran multikultural adalah akses informasi yang sulit dicapai guru. Akibatnya, guru kurang memahami makna multikulturalisme sehingga tidak sensitif terhadap masalah-masalah perbedaan dan kebhinekaan.
Kendala lain adalah guru yang mengalami lack of skill (misalnya, reality check). Akibatnya, mereka tidak mampu menciptakan pembelajaran yang menghargai perbedaan dan menghormati keragaman masyarakat.
Solusinya, tentu dengan mempermudah guru mendapatkan informasi dari media cetak maupun elektronik. Misalnya dengan menyediakan buku-buku rujukan dan koran di perpustakaan sekolah.
Bagi Guru-guru yang lebih mudah mendapatkan informasi, bisa lebih aktif untuk menerapkan multikulturalisme di kelas. Jika mungkin, turut menyebarkan virus multikulturalisme dengan rajin berbagi: menulis di blog, koran, dan majalah. Bahkan, berbicara di forum lokal dan nasional. Dengan begitu, rekan sejawat akan termotivasi untuk mencoba menerapkan cara pembelajaran yang senada multikulturalisme.
Setelah mengetahui pentingnya penerapan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, satu-satunya yang harus dilakukan adalah memulai. Memang tidak mudah, apalagi bagi guru yang merupakan ujung tombak pembaruan ini.
Tidak mungkin begitu saja menata ulang pandangan dan sikap yang dibawa anak dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Hal yang dapat dilakukan guru ialah memberitahukan kepada siswa, bahwa ada pandangan-pandangan sosial lain di samping pandangan sosial yang tertanam melalui pendidikan keluarga. Guru memperluas cakrawala siswa sehingga bisa membandingkan pandangan sosial yang satu dengan pandangan sosial yang lain. Jadi, langsungkan saja pembelajaran multikultural di sekolah Anda! TG (buhcori)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar